Menanti Wajah Baru Pasar Kereneng yang akan Direvitalisasi Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar

5 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Pasar Kereneng merupakan salah satu pasar rakyat tua di Kota Denpasar. Pasar legendaris yang pernah berjaya pada tahun 1990-an ini masih segenerasi dengan Pasar Badung dan Pasar Payuk (Kumbasari) yang berlokasi di bantaran Tukad Badung.

Namun, belakangan, Pasar Kereneng mulai meredup dan sering mendapat sorotan karena berjibaku dengan masalah kebersihan. Pemerintah Kota Denpasar lantas merespons dengan rencana revitalisasi pasar rakyat di Jalan Kamboja, Desa Dangin Puri Kangin, Denpasar Utara ini. Lantas, bagaimana perjalanan Pasar Kereneng yang sudah menjadi denyut nadi ekonomi kerakyatan di Denpasar bahkan sejak lebih dari setengah abad silam? 

Direktur Utama Perumda Pasar Sewakadarma Kota Denpasar IB Kompyang Wiranata menuturkan Pasar Kereneng bergedung tiga lantai sekarang ini merupakan hasil pembangunan tahun 1974 silam. Di mana, tahun 1970-an merupakan tahun revitalisasi pasar-pasar tua di Denpasar. “Sejarahnya berbarengan dengan pembangunan (revitalisasi) Pasar Kumbasari, yang mana pasar tua di Denpasar itu kan (Pasar) Badung, Kumbasari, kemudian Kereneng,” beber Kompyang Wiranata yang akrab disapa Gus Kowi ini ketika ditemui NusaBali.com di Graha Yowana Suci, Denpasar, Selasa (20/5). 

Meski begitu asal-usul pasar-pasar tua di Denpasar tersebut sudah ada puluhan tahun sebelumnya. Gus Kowi sendiri yang lahir tahun 1965, tidak mengetahui secara pasti kondisi Pasar Kereneng sebelum 1974. Namun, ada satu pedagang di Pasar Kereneng yang sudah berjualan sejak tahun 1960, yaitu Desak Ketut Murdi,85. 

Desak Murdi atau lebih akrab disapa Dewa Niang Mangku adalah pedagang tertua di Pasar Kereneng yang masih berjualan langsung di kiosnya, Toko Putra Dewata. Dewa Niang yang lahir di Banjar Dualang, Desa Sibanggede, Abiansemal, Badung ini merantau ke Denpasar tahun 1960 saat berusia 20 tahun bersama sang suami Alm Dewa Made Lanus. Dewa Niang menuturkan, Pasar Kereneng saat itu masih berupa ‘pasar darurat.’ Disebut demikian lantaran hanya ada tanah lapang yang dipasangi tenda kayu. Pedagang biasanya langsung berjualan dari wadah anyaman bambu seperti bodag yang mereka gelar. Kata dia, pedagang berjualan apa saja, serabutan. 

Moda transportasi utama kala itu, kata Dewa Niang adalah dokar. Ia mengaku apa pun yang dijual pedagang hampir pasti laku terjual karena jumlah pedagang belum sebanyak sekarang yang mencapai 1.167 orang. Daerah di sekitar pasar pun dari Jalan Suli sampai Renon masih berupa persawahan. “Belum seperti sekarang, dulu itu masih pasar darurat, masih pakai tiang-tiang kayu. Waktu itu ramai sekali, orang-orang jualan apapun yang bisa dijual dan banyak anggota TNI belanja ke sini karena dulu masih ada asrama di dekat sini,” ungkap Dewa Niang saat ditemui, Selasa siang kemarin. 

Dewa Niang mengingat, tahun 1973, pedagang direlokasi dari tanah lapang Pasar Kereneng tersebut ke Jalan Rijasa di selatan pasar saat ini. Sebab, pada tahun tersebut, tengah dimulai pembangunan gedung tiga lantai Pasar Kereneng yang dikenal sekarang ini. Setelah pembangunan selesai, pedagang kembali ke gedung baru Pasar Kereneng. Bukan saja pedagang lama, pedagang pindahan dari pasar kecil di pertigaan Jalan Surapati-Jalan Melati juga turut menempati gedung baru Pasar Kereneng kala itu. 

“Pasar Kereneng ini sempat sepi waktu Gestok (1965) karena orang tidak berani keluar. Kemudian, tahun 1973 waktu pembangunan juga sempat sepi. Mulai meningkat lagi itu tahun 1978,” ungkap Dewa Niang, ibu dengan enam anak ini. Selain itu, di kawasan Pasar Kereneng juga beroperasi Terminal Kereneng. Terminal ini melayani jurusan Gianyar, Bangli, Kintamani, Klungkung, sampai Padangbai, Karangasem. Terminal ini juga melayani kendaraan roda tiga dan roda empat menuju Sanur, Sanglah, Gajah Mada, dan Tegal sekitar tahun 1970-an menurut ‘Sejarah Kota Denpasar 1945-1979’ (1986). 

Kondisi ini mendongkrak kejayaan Pasar Kereneng di periode selanjutnya sampai 1990-an. Gus Kowi, Dirut Perumda Pasar Sewakadarma, yang kala itu berusia 20-an tahun mengakui masa kejayaan Pasar Kereneng terjadi di era tersebut dengan komoditas kebutuhan rumah tangga, yadnya, mode, sampai kuliner. Sedangkan di masa sekarang, Pasar Kereneng masih punya pamor sebagai pusat kuliner malam serta pasar loak yang beroperasi sore ke malam. ‘Pasar Kereneng malam’ ini bermula dari relokasi pedagang pasar senggol yang terdampak pembangunan GOR Lila Bhuana sekitar tahun 1980-an saat era Gubernur Bali Prof Dr IB Mantra. Saking populernya kuliner malam di Pasar Kereneng, atraksi wisata kuliner yang memanfaatkan lahan parkir pasar ini lantas menjadi unit pasar tersendiri yakni Unit Pasar Asoka. Akan tetapi, Pasar Kereneng dan Pasar Asoka ini kadang tampak ambigu dengan kemunculan pedagang di sekitar Jalan Rijasa dan Terminal Kereneng. 

“Pasar Kereneng dan Pasar Asoka yang dikelola Perumda Pasar itu hanya yang di dalam tembok panyengker dan emperan baja di sisi barat. Di luar itu dikelola desa,” beber Gus Kowi. Sementara itu, saat ini warga kota menanti wajah baru Pasar Kereneng menyusul rencana revitalisasi. Gus Kowi menjelaskan revitalisasi Pasar Kereneng sedang dalam studi kelaikan (feasibility study). Belum diketahui apakah akan direvitalisasi total atau parsial. Gus Kowi sendiri berharap dapat dilakukan revitalisasi total dengan penambahan basement serta gedung pasar cukup dua lantai saja. 

“Saya sih inginnya Pasar Kereneng itu ada basement-nya dan lantai gedungnya maksimal dua lantai. Di atas itu nanti untuk parkir juga karena di Kereneng itu sulit parkir. Dan, relokasi sementaranya bisa disewa lahan di timur Setra Bantas, Pagan (Jalan Hayam Wuruk),” ungkap Gus Kowi. Untuk sementara ini, Perumda Pasar Sewakadarma sedang mengancar-ancar skema sumber dana revitalisasi jika akhirnya ditetapkan revitalisasi total. Di samping itu, perbaikan parsial juga sedang berjalan menyasar dak bocor, lantai pecah, sampai tembok kumuh. 

Di sisi lain, Dewa Niang mengaku telah mendengar kabar revitalisasi Pasar Kereneng ini. Kata dia, para pedagang masih ingin bertahan karena khawatir jatah kios dan los yang diperoleh usai revitalisasi tidak sesuai ekspektasi seperti berukuran lebih kecil atau lokasinya berubah ke titik kurang strategis. “Tapi ya kalau pemerintah sudah memutuskan, Niang Mangku ikut saja. Yang penting disediakan tempat relokasi yang layak dan memadai,” tandas Dewa Niang. 7 ol1
Read Entire Article