ARTICLE AD BOX
MANGUPURA, NusaBali
Sekaa Teruna (ST) Dwi Graha Yowana, Banjar Bale Kembar, Desa Adat Bualu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung mempersembahkan sisi unik karya ogoh-ogoh yang berbeda dari biasanya. Mengambil inspirasi dari empat sumber cerita, ogoh-ogoh berjudul ‘Kaliyuga’ menghadirkan konsep dunia dan isinya yang serba terbalik. Ogoh-ogoh ini memiliki elemen-elemen yang tidak biasa. Posisi tangan dan kaki terbalik, kepala berada di bawah, sementara kaki di atas. Bahkan, tangan kanan dan kiri dipertukarkan, membuat sulit membedakan mana yang tangan dan mana kaki.
Konseptor ogoh-ogoh, dr I Wayan Budi Artana, mengungkapkan ide ini lahir dari pengamatannya terhadap situasi di Bali dan Indonesia yang semakin kacau. Dia menilai, melihat kondisi saat ini, dirinya merasa zaman ini adalah Kaliyuga, zaman di mana segalanya terbalik. “Yang salah bisa jadi benar, yang benar bisa salah. Oleh karena itu, saya pikir judul Kaliyuga sangat cocok,” ujarnya. Konsep itu pun, lanjut Artana, melahirkan bagian ogoh-ogoh yang serba terbalik dengan bagian kaki berada di atas menggantikan posisi tangan dan sebaliknya. Selain itu, tokoh utama yang menggambarkan keburukan zaman ini, Kala Maharoga Yasa, dihadirkan dengan pakaian spiritual seperti seorang pendeta, namun ketika kepalanya diangkat, justru terlihat ular berbisa.
Hal itu disebut menggambarkan banyaknya figur spiritual yang seharusnya suci, namun justru terlibat dalam berbagai skandal. Pria yang akrab di sapa Yan Dokter ini pun mengaku jika konsep Kaliyuga terinspirasi dari empat sumber utama, yakni Wisnu Purana Kaliyuga: The Awakening of the Tents sebuah buku dari India, Mahakurawa Kaliyuga yaitu kisah yang menggambarkan sisi terbalik dari Mahabharata, di mana Kurawa menjadi pihak yang benar dan Pandawa yang jahat, dan Film Kalki 2898 untuk inspirasi karakter Kalki.
Dari keempat sumber ini, ogoh-ogoh Kaliyuga menampilkan dua tokoh utama, yaitu Kalki, sosok anak berusia 10 tahun yang menopang Kala Maharoga Yasa. “Kalki bukanlah sosok biasa, dia diyakini sebagai penjelmaan dari tujuh tokoh besar Aswatama, Karna, Bali, Hanoman, Wibisana, Kripacarya, dan Parasurama. Kalki juga digambarkan tidak menggunakan kuda putih, melainkan membawa panah Gandiwa dan mengenakan baju perang khas Karna,” ungkapnya. Salah satu elemen unik dalam ogoh-ogoh ini adalah sebuah kotak yang dipegang oleh Kala Maharoga Yasa.

Keluarga besar ST Dwi Graha Yowana, Banjar Bale Kembar, Desa Adat Bualu, berfoto di depan ogoh-ogoh Kaliyuga. –WINDU
Kotak ini melambangkan perjalanan hidup, di mana bagian dalamnya akan berputar menampilkan sosok Pandawa Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa bersama seekor anjing. Ini merepresentasikan perjalanan Pandawa menuju surga, yang menandai awal zaman Kaliyuga setelah meninggalnya Sri Krishna. Arta mengaku konsep ogoh-ogoh ini mengalami perubahan hingga dua minggu sebelum selesai.
“Saya memiliki tiga sketsa awal, tetapi sketsa terakhir inilah yang menurut saya paling cocok untuk menggambarkan zaman ini. Saya juga ingin pemuda banjar memiliki identitas sendiri, tanpa meniru karya lain,” tegasnya. Meskipun hanya menduduki peringkat keempat di Zona 7, Arta tetap merasa bangga dengan hasil garapannya. Dengan dana yang minim, sekitar Rp 40 juta sudah termasuk konsumsi, pihaknya pun tidak menyangka ogoh-ogoh tersebut akan viral. Menariknya, Artana sendiri bukan seorang seniman, melainkan seorang dokter bius.
“Saya hanya memberikan konsep, sementara pengerjaannya dilakukan oleh anak-anak muda di banjar. Ini adalah bentuk kolaborasi untuk memastikan regenerasi seni ogoh-ogoh tetap berlanjut di masa depan,” harap pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta tahun 2007 ini. Dalam kesempatan yang sama, Penanggung Jawab Konstruksi dan Permesinan, Wayan Dedi Paryana menjelaskan berbagai teknologi yang digunakan dalam ogoh-ogoh ini. Mesin untuk mengangkat kepala dikatakan menggunakan actuator dengan kekuatan dorongan 6.000 newton.
Sementara itu, bagian tangan yang berputar memanfaatkan gearbox untuk menurunkan kecepatan dari mesin wiper mobil. Bagian dalam kotak yang berisi wayang digerakkan menggunakan mesin yang biasa digunakan dalam joran pancing, memungkinkan pergerakan berputar yang halus. Untuk bagian cakarnya, digunakan bekas pan outdoor AC. Semua rangkaian mesin itu disebut hanya memakan waktu sekitar dua minggu.
“Tantangan terbesar adalah merangkai mekanisme gerak kaki agar seimbang, sehingga topengnya tidak goyang. Kami juga harus memastikan pergerakan kanan dan kiri naik secara sinkron,” ungkap Dedi. Dengan tinggi mencapai 6 meter dan berat kurang lebih 100 kilogram, Dedi ingin terus mengembangkan karya mereka dengan mengandalkan sumber daya manusia (SDM) dari banjar, untuk memastikan regenerasi dan pelestarian seni ogoh-ogoh tetap terjaga.
Sementara, Perwakilan Penggarap Ogoh-Ogoh, I Wayan Arimbawa mengatakan proses pembuatan ogoh-ogoh tahun ini menghadapi tantangan seperti kesulitan memastikan bagian dari badan ogoh-ogoh, hingga mengatur waktu pengerjaan. Meski demikian, dia meyakini jika seluruh pemuda ikut ambil bagian dan sudah berusaha dengan maksimal. Disinggung bahan yang digunakan dalam ogoh-ogoh juga disebut berbahan ramah lingkungan, seperti koran, kardus, clay, serta ulatan dari bambu dan rotan. Dengan konsep yang kuat dan eksekusi yang berbeda dari biasanya, ogoh-ogoh Kaliyuga direncanakan akan tampil pada parade ogoh-ogoh di Nusa Dua pada 28 Maret 2025 mendatang.
“Kami juga akan menampilkan fragmen obor dan beleganjur, serta rencana membuat sanan berukuran 5x5 meter dengan jumlah pengarak 25 orang. Ke depan, kami ingin STT kami terus berkembang dan menciptakan karya yang lebih baik. Kami menggunakan sistem bebas berkarya, dan itu adalah kepuasan bagi kami. Harapan kami, pemuda Badung tetap semangat berkarya dan terus melestarikan budaya Bali,” pungkasnya. 7 ol3