ARTICLE AD BOX
Novita dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (6/4/2025), mengatakan tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat ketegangan ekonomi global dan kebijakan tarif internasional berdampak langsung terhadap masyarakat, terutama mereka yang biasa bepergian ke luar negeri.
“Biaya perjalanan ke luar negeri melonjak dan ini saat yang tepat untuk mendorong pergeseran arus wisata ke destinasi lokal,” ujar Novita. Data dari Mastercard Economics Institute (2023) mengungkapkan pada 2022, wisatawan Indonesia menghabiskan rata-rata 1.200 dolar AS per perjalanan ke luar negeri. Dengan depresiasi rupiah yang terus berlanjut, angka tersebut berpotensi meningkat drastis.
“Ini menjadi sinyal penting bahwa wisata domestik harus menjadi prioritas, bukan hanya sebagai alternatif, tapi sebagai pilihan utama,” katanya.
Dia menegaskan krisis bukan alasan untuk stagnasi. Justru, sejarah menunjukkan bahwa krisis merupakan ruang bagi lahirnya inovasi. “Pemerintah harus melihat ini sebagai momentum untuk memperkuat kebijakan fiskal, memberikan insentif bagi pengembangan destinasi lokal, serta menjaga kepercayaan investor di sektor pariwisata,” ucap Novita.
Dia juga menyoroti perlunya kolaborasi antara kementerian terkait, pelaku industri, dan pemerintah daerah dalam menyediakan akses transportasi yang terjangkau, promosi wisata yang masif, dan menciptakan pengalaman wisata domestik yang berkualitas dan kompetitif.
“Kalau wisatawan domestik dialihkan ke destinasi lokal, dampaknya bisa sangat besar terhadap perputaran ekonomi daerah. Ini bukan sekadar soal pariwisata, tetapi soal penguatan ekonomi rakyat,” ujarnya.
Dalam konteks visi ekonomi Presiden Prabowo Subianto yang menekankan kemandirian nasional, Novita menilai pariwisata tidak bisa lagi dianggap sebagai sektor pelengkap.
“Pariwisata adalah jantung baru ekonomi Indonesia, harus resilien, berdaya saing, dan inklusif. Kebijakan Trump bisa jadi pemicu perubahan arah, jika kita pandai membaca peluang di tengah krisis,” tandas Novita. 7 ant